Etika Islam dan Seni Hiburan

Gianni Izzo dalam karyanya “Grief and loss in Shiʿi thought: Zayn al-Dīn al-ʿĀmilī’s” yang dipublikasikan pada Journal of Islamic Studies, Volume 35, Issue 3, September 2024, Pages 372–396 menjelaskan tentang etika Islam dan seni hiburan. Menurutnya, dalam studi etika Islam, tulisan-tulisan tentang penghiburan (taʿāzī) adalah genre yang sebagian besar diabaikan. Artikel ini merupakan langkah awal untuk mengisi kekurangan dalam literatur sekunder terkait topik ini. Artikel ini mengkaji karya Zayn al-Dīn al-ʿĀmilī (w. 965 H/1558 M) yang berjudul “Musakkin al-fuʾād,” sebuah risalah tentang kesedihan akibat kehilangan anak dan penghiburan atasnya. Kontribusi al-ʿĀmilī terhadap genre ini menawarkan perspektif Syi'ah yang dipengaruhi oleh pemahaman Muʿtazilah tentang keadilan ilahi dan theodisi. Menurut pandangan ini, ganjaran ilahi (ʿiwaḍ) diberikan kepada mereka yang berduka dengan syarat kesabaran yang disertai penghargaan atas kehilangan tersebut, yang dikaitkan dengan ujian dan kematian yang dialami oleh empat belas orang 'Maksum' (al-maʿṣūmīn).

Pandangan al-ʿĀmilī yang merendahkan dunia (al-dunyā) mendorong untuk meninggalkan keterikatan material melalui sikap ideal berupa kesabaran (al-ṣabr) dan kepasrahan (al-riḍāʾ). Musakkin al-fuʾād membayangkan suatu sistem ganjaran dan kehilangan yang selaras dengan pelajaran dari teks-teks suci. Saya mengkaji bagaimana al-ʿĀmilī menggunakan sumber-sumber ini, termasuk narasi-narasi kenabian, perumpamaan, dan tradisi (aḥādīth), untuk mengeksplorasi implikasinya bagi ekspresi ideal duka Muslim. Dari contoh-contoh ini, aspek pribadi menjadi universal, menciptakan kriteria moral untuk sikap terhadap kehidupan dan mengharuskan respons yang sesuai dan terarah terhadap kematian.

Artikel ini mengangkat tema yang relatif terabaikan dalam studi etika Islam, yaitu tulisan-tulisan tentang penghiburan (taʿāzī), yang membahas bagaimana menghadapi dan merespons duka secara religius, khususnya dalam konteks kehilangan anak. Artikel tersebut berfokus pada Musakkin al-fuʾād karya Zayn al-Dīn al-ʿĀmilī, seorang ulama Syi'ah dari abad ke-16, yang menulis risalah mengenai kesedihan dan penghiburan atas kehilangan anak. Dalam karyanya ini, al-ʿĀmilī memberikan perspektif Syi'ah tentang duka yang dipengaruhi oleh pemahaman Muʿtazilah tentang keadilan ilahi dan theodisi (pembenaran keadilan Tuhan dalam menghadapi penderitaan). Pemikiran ini menekankan bahwa kehilangan seseorang yang dicintai, meski menyakitkan, bukanlah suatu peristiwa yang sia-sia. Dengan catatan, jika yang berduka menerimanya dengan kesabaran dan kepasrahan, maka ganjaran ilahi (ʿiwaḍ) akan diberikan sebagai kompensasi. Ganjaran ini mencerminkan pendekatan al-ʿĀmilī terhadap dunia sebagai sesuatu yang fana dan hanya layak direndahkan (al-dunyā), karena merupakan tempat sementara yang tidak sebanding dengan balasan akhirat.

Musakkin al-fuʾād bukan hanya menyoroti aspek teknis penghiburan, tetapi juga memperkenalkan konsep-konsep seperti kesabaran (ṣabr) dan kepasrahan (riḍāʾ), yang dianggap oleh al-ʿĀmilī sebagai kunci dalam menghadapi ujian duniawi. Dia tidak hanya mengajarkan bahwa kesabaran diperlukan, tetapi juga menganggapnya sebagai suatu ideal etis dan spiritual yang mendekatkan individu kepada realitas ilahi. Baginya, kepasrahan dan kesabaran terhadap kehilangan adalah bentuk penghormatan terhadap pengalaman hidup yang sama yang juga dialami oleh empat belas tokoh sentral Syi'ah, yaitu orang-orang yang ‘maʿṣūmīn’ atau terjaga dari dosa. Dengan demikian, al-ʿĀmilī tidak sekadar memberikan jalan untuk mengatasi kesedihan secara pribadi, tetapi juga menawarkan pendekatan universal yang menyusun kerangka moral bagi semua umat Muslim dalam merespons kematian.

Dalam artikel ini, al-ʿĀmilī menggambarkan dunia ini sebagai tempat yang fana dan tidak berharga dalam pandangan spiritual Syi'ah, sehingga keterikatan material dianggap hanya menambah penderitaan batin. Hal ini tercermin dalam pesannya yang mendorong kaum Muslim untuk menjauhkan diri dari ketergantungan duniawi dan lebih mengutamakan kehidupan akhirat yang abadi. Pendekatan ini menunjukkan bahwa risalah al-ʿĀmilī bukan hanya tentang bagaimana mengatasi duka, tetapi juga tentang bagaimana seseorang seharusnya memandang hidup itu sendiri: bahwa penderitaan dan kehilangan adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan spiritual yang pada akhirnya akan membawa seseorang pada pemahaman tentang keadilan ilahi dan hikmah yang lebih besar di balik setiap peristiwa.

Al-ʿĀmilī mengembangkan konsep penghiburan dan kedukaan dengan melibatkan konsep teologis Syi'ah, seperti keadilan ilahi yang berhubungan dengan ganjaran akhirat sebagai kompensasi atas kesabaran dalam menghadapi duka. Dengan cara ini, al-ʿĀmilī memperkenalkan konsep teodisi dalam menghadapi kehilangan, di mana penderitaan dan kesedihan yang dialami di dunia ini merupakan sarana untuk memperoleh ganjaran di kehidupan akhirat. Pendekatan ini adalah refleksi dari pandangan teologis Muʿtazilah, yang mengutamakan keadilan dan kebijaksanaan Tuhan, di mana setiap kejadian yang menimpa manusia memiliki hikmah tertentu dan tidak boleh dipandang sebagai ketidakadilan. Dalam konteks ini, kesedihan dan duka kehilangan seorang anak, meski terasa sangat berat, dianggap sebagai bagian dari ujian yang akan diganjar dengan pahala bagi mereka yang tetap bersabar dan pasrah.

Artikel ini juga menekankan bahwa al-ʿĀmilī membayangkan suatu sistem ganjaran dan kerugian yang telah dikalibrasi atau disusun sedemikian rupa berdasarkan ajaran-ajaran teks-teks suci Islam. Al-ʿĀmilī mengutip berbagai sumber agama, seperti narasi kenabian, perumpamaan, dan tradisi (aḥādīth) untuk menggarisbawahi pesan-pesan moral dan spiritual yang berkaitan dengan penghiburan. Tradisi ini dianggap sebagai alat untuk menekankan bahwa kehilangan bukanlah sesuatu yang harus dihindari atau disesali, melainkan sebuah kesempatan untuk menunjukkan komitmen spiritual seseorang kepada Allah. Al-ʿĀmilī menyebutkan bahwa Nabi Muhammad dan para maʿṣūmīn sendiri mengalami berbagai penderitaan, dan dengan menghubungkan pengalaman manusia biasa dengan penderitaan tokoh-tokoh suci ini, al-ʿĀmilī menekankan pentingnya meneladani mereka dalam menunjukkan kesabaran dan kepasrahan terhadap kehendak ilahi.

Lebih jauh lagi, artikel ini menunjukkan bagaimana al-ʿĀmilī menggunakan kisah-kisah kenabian dan aḥādīth untuk menyampaikan pesan-pesan yang lebih dalam tentang penghiburan. Dari kisah-kisah ini, al-ʿĀmilī berusaha membuat pengalaman pribadi seseorang menjadi pelajaran universal yang bisa diaplikasikan oleh semua umat Muslim, sehingga kedukaan dan penghiburan tidak lagi hanya menjadi respons emosional, tetapi berubah menjadi respons etis yang terukur dan berdasar. Dengan cara ini, al-ʿĀmilī berhasil merumuskan respons terhadap kematian yang tidak hanya mencerminkan rasa kehilangan individu, tetapi juga memenuhi standar moral dan teologis yang tinggi. Dalam konteks ini, individu yang mengalami duka diarahkan untuk mencapai kesadaran bahwa pengalaman tersebut merupakan ujian keimanan, di mana kesabaran dan kepasrahan terhadap kehendak Allah menjadi indikator keberhasilan dalam menjalani ujian tersebut.

Musakkin al-fuʾād menawarkan pendekatan duka yang bukan hanya emosional, tetapi juga intelektual dan spiritual. Dengan menghubungkan pengalaman duka dengan kerangka teologis yang menekankan pada keadilan dan ganjaran ilahi, al-ʿĀmilī memberikan panduan bagi umat Muslim untuk merespons kehilangan dengan sikap yang lebih tenang dan penuh penerimaan. Dalam hal ini, duka bukan lagi sekadar perasaan pribadi yang harus dilewati, melainkan menjadi sarana untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi akan hubungan manusia dengan Tuhan dan realitas dunia yang sementara ini.

Selain itu, artikel ini menggarisbawahi bagaimana pendekatan al-ʿĀmilī terhadap dunia, yang dianggap rendah dan penuh tipu daya, justru menjadi alasan mengapa ia mengajarkan sikap meninggalkan keterikatan duniawi. Dengan mendidik orang untuk melepaskan diri dari keduniawian, al-ʿĀmilī memperkenalkan konsep zuhud, atau kehidupan yang bersahaja dan tidak terikat pada hal-hal materi. Dalam perspektif ini, kedukaan atas kehilangan seorang anak, meski menyakitkan, dianggap sebagai kesempatan untuk melatih diri dalam ketidaklekatan dan memperkuat hubungan dengan Allah, yang pada gilirannya menguatkan iman seseorang dan mempersiapkan mereka untuk kehidupan akhirat.

Pentingnya risalah al-ʿĀmilī ini dalam kajian etika Islam adalah bahwa ia mengembangkan pemahaman tentang duka yang tidak sekadar bersifat individual, tetapi juga memunculkan dimensi sosial dan universal. Dalam pandangannya, duka bukan hanya milik pribadi, tetapi menjadi bagian dari pengalaman bersama yang mencerminkan nilai-nilai spiritual dan etis yang diinginkan dalam ajaran Islam. Dengan cara ini, al-ʿĀmilī merumuskan pedoman etis yang mengajak umat Muslim untuk melihat duka sebagai pengalaman yang harus diterima dengan kesabaran dan kepasrahan, yang sekaligus memperkuat kedekatan mereka dengan Tuhan.

Artikel ini akhirnya menyimpulkan bahwa tulisan-tulisan al-ʿĀmilī tentang penghiburan, melalui pengembangan konsep-konsep seperti kesabaran, kepasrahan, dan keterlepasan dari dunia, menjadi panduan praktis dan filosofis bagi umat Muslim untuk merespons duka dengan cara yang ideal. Dalam interpretasi yang lebih luas, respons ini juga menjadi salah satu cerminan dari kepercayaan pada keadilan dan kasih sayang Allah yang mutlak, di mana segala penderitaan dianggap sebagai ujian yang, jika dihadapi dengan benar, akan menghasilkan ganjaran abadi. Dengan demikian, karya ini mengisi kekosongan dalam literatur Islam tentang etika duka dan penghiburan, serta memberikan kontribusi penting dalam memahami bagaimana tanggapan Sufi dan Syiah terhadap duka dapat diaplikasikan dalam kehidupan umat Muslim secara keseluruhan.

 

 

SUMBER BACAAN

Gianni Izzo, Grief and loss in Shiʿi thought: Zayn al-Dīn al-ʿĀmilī’s (d. 965/1558) Musakkin al-fuʾād, Journal of Islamic Studies, Volume 35, Issue 3, September 2024, Pages 372–396, https://doi.org/10.1093/jis/etae022

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama